Senin, 29 Maret 2010

Berdakwah Kepada Penguasa

Renungkanlah firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun saat diutus menuju Fir’aun (yang artinya): ”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha: 44)
Merupakan kewajiban atas para da’i untuk memperhatikan batasan-batasan syariat, dan menasehati pemimpin mereka dengan ucapan yang baik, bijak serta dengan cara yang baik pula, agar kebaikan itu bertambah banyak dan kejelekan semakin berkurang.
Dan agar da’i kepada jalan Allah bertambah, semakin giat untuk berdakwah dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan, menasehati para pemimpin dengan segala cara yang baik dan selamat, serta mendoakan mereka di tempat yag terpisah: semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, menunjukkan dan membantu mereka kepada kebaikan. Dan semoga Allah menolong mereka untuk dapat meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan, serta menegakkan kebenaran.
Imam Syafi’i ra. berkata: “Barang siapa menegur saudaranya dengan cara tersembunyi, maka ia telah menasehati dan menghiasinya, dan barang siapa yang menegur saudaranya dengan cara terus terang di hadapan khalayak, maka ia telah membeberkan aibnya dan menjelek-jelekkannya.”
Pada suatu saat dinyatakan kepada Mis’ar bin Qidaam rahimahullah: “Sukakah engkau kepada orang yang memberitahukanmu tentang aib/kekuranganmu? Beliau menjawab: “Bila ia menyampaikan nasehat kepadaku di tempat sunyi, maka saya akan menyukainya, dan bila ia menegurku di hadapan khalayak ramai, niscaya aku tidak akan menyukainya.”
Al Ghazali, mengomentari perkataan Mis’ar bin Qidaam dengan berkata: “Sungguh ia telah benar, karena sesungguhnya nasehat yang disampaikan di hadapan khalayak ramai adalah penghinaan.” (Ihya’ ‘Ulumuddin 2/182)
Bila hal ini berlaku pada perorangan, maka lebih pantas untuk diindahkan ketika kita hendak menyampaikan nasehat kepada para penguasa, pejabat pemerintahan, atau pemimpin suatu negara.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum -pen) akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan sang penguasa dan berdua-duaan dengannya (empat mata). Jika sang penguasa menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan-pen), dan jika tidak (menerima) maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (Riwayat Ahmad, At-Thobrooni, dan Ibnu Abi ‘Ashim, dan Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah)
Syaikh Utsaimin pernah ditanya, “Kenapa anda tidak menegur pemerintah dan menjelaskan hal itu kepada masyarakat?” Maka beliau menjawab, “…Akan tetapi nasehat telah disampaikan… sungguh demi Allah!!! Aku beritahukan kepada engkau (wahai fulan), dan aku beritahukan kepada saudara-saudaraku bahwa sikap: “Mempublikasikan sikap anda yang telah menyampaikan nasehat kepada pemerintah mengandung dua mafsadat/marabahaya:

Mafsadat pertama: Hendaknya setiap orang senantiasa mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa riya, sehingga gugurlah amalannya
Mafsadat kedua: Bila pemerintah tidak menerima nasehat tersebut, maka teguran ini menjadi hujjah (alasan) bagi masyarakat awam untuk (menyudutkan) pemerintah. Akhirnya mereka akan bergejolak (terprovokasi) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” (Dari kaset as’ilah haula lajnah al-huquq as-syar’iyah. Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdul Malik Ramadani dalam Madarik an-Nazhor hal 211)
Diantara metode berdakwah kepada para penguasa ialah dengan cara mendoakannya agar mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala, bukan malah mendoakan kejelekan untuknya.
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Seandainya aku memiliki suatu doa yang pasti dikabulkan (mustajabah) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena baiknya seorang penguasa berarti baiknya negeri dan rakyat. (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Dzahaby 8/434)
Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya bergembira tatkala mengetahui bahwa metode dalam menasehati pemerintah ternyata telah dijelaskan dengan gamblang oleh Nabi SAW: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan adil (yang diucapkan) di sisi penguasa yang jahat.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Hakim & Al Albany)
Pada hadits ini, tidak ada sama sekali dalil yang menyebutkan bahwa penyampaian nasehat ini disampaikan di hadapan khalayak ramai, atau dari atas podium, atau yang serupa. Bahkan terdapat satu isyarat bahwa nasehat ini disampaikan secara langsung dihadapannya, oleh karena itu beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yg artinya): “di sisi/di hadapan seorang penguasa yang jahat“.
Dengan demikian hadits ini amat menyelisihi perbuatan banyak orang yang sok berpegangan dengan hadits ini, kemudian berorasi di mana-mana dengan menyebutkan berbagai kritikannya kepada pemerintah, atau dengan berdemontrasi, atau yang serupa. Sebab ia menyampaikan nasehat bukan di hadapan penguasa, akan tetapi di hadapan masyarakat, sehingga yang terjadi hanyalah kekacauan, keresahan dan jatuhnya kewibawaan pemerintah di hadapan masyarakat. Dan bila kewibawaan pemerintah telah jatuh, maka para penjahat, pencuri, perampok, dan orang jahat lainnya akan semakin berani melancarkan kejahatannya.
Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya adalah orang yang semangat dalam menjalankan metode-metode yang diajarkan Nabi. Maka sungguh sangat menyedihkan jika kita mendapati seorang yang mengaku sebagai “Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” kemudian malah mencari metode-metode lain yang tidak diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu sikap menghujat pemerintah baik di mimbar-mimbar atau di ceramah-ceramah atau melalui demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan di jalan-jalan sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan metode yang digariskan oleh Rasulullah SAW
Wallahu’alam Bishshowab
Sumber: www.muslim.or.id